Di masa pandemi
seperti ini, tentu saja sebagian besar dari kita menghabiskan waktunya
#DiRumahAja. Setelah membereskan beberapa pekerjaan secara remote, sebagian
mungkin merasa mati gaya. Mau keluar, tapi khawatir karena virus masih
bertebaran di mana-mana. Sementara ketika diam di rumah, bingung kira-kira
aktivitas produktif apa yang bisa kita lakukan? Dalam hal ini, salah satu
investasi jangka panjang yang bisa kita lakukan adalah menulis. Di era teknologi
4.0 seperti sekarang, menulis menjadi salah satu peluang paling lebar yang bisa
menjadi skill berharga untuk dimiliki seseorang.
Dengan kemampuan
menulis yang baik, kita bisa meng-apply beasiswa karena ada syarat menulis
esai. Jika kita bisa menulis, berbagai pekerjaan di kantor pun akan menjadi
lebih mudah dikerjakan. Membuat laporan, proposal kegiatan, takarir (caption)
di Instagram, copywriting di Facebook, broadcast di grup-grup what's app,
bahkan membuat script untuk video pun berawal dari modal dasar menulis. Jadi,
siapa pun kita dan apa pun profesi kita, menulis menjadi bekal berharga dalam
setiap aspek kehidupan. Maka dari itu, saya harap semoga pertemuan malam ini
pun bisa sedikit membuka mindset dan beberapa strategi yang bisa teman-teman lakukan
apabila tertarik untuk mendalaminya lebih dalam :)
Karena topik
kita pada malam hari ini adalah "Menjadi Penulis Buku", maka mari
kita spesifik mulai membahas terkait hal tersebut :) Teman-teman mungkin tahu
bahwasannya ada dua jenis buku yang biasa kita temukan, yakni buku
"fiksi" dan "nonfiksi". Fiksi meliputi novel, cerpen,
puisi, drama, dan sebagainya. Segala hal yang berkaitan dengan daya imajinasi
yang bebas, semua masuk ke ranah ini. Lain halnya dengan nonfiksi. Buku
pengantar terhadap sesuatu, kumpulan artikel, esai, berita, biografi tokoh,
"how to", sampai dengan buku resep, semua masuk ke sini. Dengan kata
lain, segala hal yang berlandaskan pada fakta dan kenyataan, itulah nonfiksi. Meskipun
ada beberapa penerbit yang mengkategorikan genre faksi (fakta-fiksi), yakni
menyampaikan fakta, tetapi dengan teknik fiksi, saya pikir hal tersebut tetap
saja merupakan nonfiksi. Beberapa mungkin kita lihat dengan label
"pengembangan diri" atau "self improvement". Tak ada
masalah sama sekali, kok, dengan itu. Hal tersebut hanya untuk mempermudah
klasifikasi karya kita ketika mejeng di toko buku saja. Hehe Nah, pertanyaannya
kemudian adalah: apa yang bisa kita tulis dan dari mana kita harus memulainya?
[7:48 PM, 7/12/2020] +62
878-2214-3575: Jadi, begini. Ada banyak hal yang sebetulnya bisa kita
eksplorasi sebagai bahan tulisan. Yang paling mudah di antaranya adalah sebagai
berikut.
✅
Profesi (Pekerjaan)
✅
Hobi / Minat
✅
Keresahan (Diri/Masyarakat)
✅
Pengalaman Pribadi
Kunci yang harus
kita perhatikan terkait tema tersebut adalah: Penting, Menarik, dan Sesuai
Kebutuhan Masyarakat. Minimal memenuhi dua dari tiga syarat di atas, buku
kita insya Allah akan potensial ketika diterbitkan.Mari kita bahas satu
persatu.
✅
Profesi (Pekerjaan)
Sesuatu yang
telah kita lakukan selama waktu tertentu, tentu saja menjadikan kita expert di
bidang tersebut. Sebut saja misalkan kita bekerja sebagai guru. Maka, topik ini
bisa dikembangkan menjadi beberapa subtema.
1) Bagaimana
menjadi guru yang disukai muridnya?
2) Manajemen sekolah
3) Membuat bahan
ajar
4) Psikologi
karakter anak-anak
5) Manajemen
Kelas
Beda lagi ketika kita sebagai
pengusaha. Topik-topik yang bisa kita angkat mungkin sebagai berikut.
1) Cara membuka usaha
2) Menjadi pemimpin yang baik untuk
karyawan
3) Kredit vs Riba
Dan seterusnya.
Lalu, kalau ada
yang bertanya, "Kang, kalau saya cuma Ibu Rumah Tangga biasa gimana?"
Ooh, tenang saja. Karena justru pekerjaan IRT merupakan sumber inspirasi yang
tidak terbatas, lho :)
1) Manajemen rumah dan keluarga
2) Psikologi suami-istri
3) Kiat menghadapi kelahiran
pertama
4) Ibu rumah tangga vs Ibu bekerja
5) Mencicil rumah / Mengontrak
dulu?
dan sebagainya.
Jadi, sumber ide itu sebetulnya
tidak terbatas. Apa pun profesi kita, tinggal disesuaikan saja :")
✅
Hobi / Minat
Sumber ide yang
kedua adalah hobi. Kita lihat, apa yang sering kita lakukan di waktu
senggang?Berolahraga? Main futsal, basket, badminton, berenang, voli, buku
tangkis, atau semacamnya? Menulis, membaca, jalan-jalan, bernyanyi, makan, dan
seterusnya? Kita lihat, masing-masing dari bidang tersebut pun bisa kita
kembangkan menjadi bahan tulisan. Olahraga. Selagi pandemi seperti ini, bisa
saja kita mengangkat "25 Olahraga yang Cocok Dimainkan di Rumah" Menarik?
Bisa jadi. Apalagi masyarakat bisa memilihnya untuk dilakukan, dan kita pun
bisa eksperimen kecil-kecilan kalau diperlukan :")
Minat.
Katakanlah kita minat dengan makanan atau hal-hal berbau kuliner. Bukankah
kemudian kita bisa saja menulis buku "100 Wisata Kuliner yang Wajib Kamu
Kunjungi Selama di Surabaya"? 🤭😆 Kata Kang Emil,
Gubernur Jawa Barat, pekerjaan paling menyenangkan adalah hobi yang dibayar. Maka,
dari hobi atau hal-hal yang kita lakukan dengan senang hati, hal tersebut bisa
menjadi bahan bakar kita dalam menulis dengan menuangkan berbagai pengalaman
yang kita alami juga di dalamnya :")
✅
Keresahan (Diri/Masyarakat)
Hal ini biasanya
disesuaikan dengan momentum. Kalau teman-teman lihat, berbagai tema di toko
buku yang lagi booming itu biasanya melihat kondisi masyarakat juga. Zaman Pilpres
kemarin, misalnya. Tiba-tiba saja biografi Jokowi, Sandiaga Uno, dan berbagai
caleg lainnya mewarnai display toko. Menjelang UN dan SBMPTN, buku-buku tentang
perguruan tinggi, latihan soal, sampai trik CPNS pun keluar.
Saat novel
wattpad naik pamor, semua hal berbau Wattpad keluar. Kita melihat di berbagai
buku ada keterangan "Dibaca sekian juta kali di Wattpad".
Sampai-sampai buku tentang kiat menulis di Wattpad pun sempat beredar 😆
Nah, ketika lagi masa pandemi gini,
trennya mungkin bergeser. Kiat hidup sehat, cara cuci tangan yang benar,
panduan dari WHO, konspirasi covid-19, dan seterusnya jadi bahan perbincangan
di mana-mana. Kalau kita niat untuk merisetnya, boleh jadi tema seperti ini
sebagai salah satu pertimbangan untuk diangkat. Namun kalau dirasa belum
mumpuni, lebih baik pilih hal lain dulu saja, ya :)
✅
Pengalaman Pribadi
Nah, tema
terakhir ini adalah yang paling simpel. Karena kita tidak perlu repot-repot
mencari. Semuanya sudah ada dalam diri kita masing-masing :") Pengembangan
tema ini bisa ke banyak hal.
1) Otobiografi. Kalau
misalkan kita merupakan tokoh penting atau seseorang yang dikenal oleh
masyarakat, pengalaman kita bisa saja dibuat menjadi sebuah buku perjalanan
hidup. Baik ketika kecil, masa pendidikan yang kita alami, pekerjaan yang kita
geluti, dan seterusnya.
2) Personal Literature.
Dulu, genre ini dipopulerkan pertama kali oleh Raditya Dika. Ketika pengalaman
pribadi dicampur dengan humor, jadilah buku-buku seperti Kambing Jantan dan
sebagainya. Hal ini juga diikuti oleh @shitlicious, Bena Kribo, dan sebagainya.
3) Catatan Harian.
Ada beberapa orang yang menulis pengalamannya dengan format catatan harian. Habibie
Ainun, misalnya. Menggambarkan pengalaman Eyang Habibie selama menjalin cinta
dan hidup bersama pujaan hatinya, Ainun. Buku-buku bertema depresi seperti
"I Want to Die But I Want to Eat Tteopeokki" dan "Reasons to
Stay Alive" juga merupakan pengalaman pribadi pengarangnya yang kemudian
diambil intisari supaya bisa menjadi pelajaran bagi pembaca lain. Balik lagi ke
tiga prinsip tema tadi. Apakah pengalaman kita penting, menarik, dan dibutuhkan
oleh orang banyak? Jangan sampai kita asyik sendiri dan melupakan esensi dari
hal tersebut, ya. 😁
Nah, kalau kita sudah bisa memilih
tema dan mulai terbayang apa yang dapat kita tulis, maka kita bisa melanjutkan
ke langkah selanjutnya, yakni start to writing.
Tahapan menulis
sendiri memiliki tiga langkah, yakni pramenulis, menulis, dan pascamenulis.
✅
Tahap Pramenulis
Tahap ini adalah
langkah pertama. Di sini kita menyiapkan bahan-bahan tulisan kita. Mulai dari
riset, menyiapkan bacaan-bacaan yang sesuai sebagai referensi, dan sebagainya. Ada
baiknya, supaya tulisan kita rapi dan terarah, saya menyarankan teman-teman
untuk membuat outline (kerangka tulisan). Outline ini berupa topik-topik yang
akan kalian bahas dalam buku tersebut. Kalau untuk nonfiksi, outline ini bisa
ditulis dengan poin-poin. Misalnya, kalau kita mau buat buku tentang "Cara
Membuka Usaha", maka beberapa bab awal bisa saja ditulis:
1) Definisi Usaha
2) Jenis-jenis usaha
3) Persiapan sebelum membuka usaha
4) Langkah-langkah membuka usaha
dan seterusnya.
Kalau dalam
fiksi seperti novel, outline ini bisa kita breakdown menjadi topik khusus tiap
bab. Misalnya,
1) Halaman sekolah. Budi bertemu
Wati karena terlambat. Wati dibuat kesal dengan sifat Budi yang terkesan
arogan.
2) Wati memasuki kelas di hari
pertama sekolahnya. Siapa sangka, Budi ternyata satu kelas dengannya! Ia
berusaha tak acuh dengan kehadiran Budi dan mencoba fokus dengan pelajaran di
kelas. Namun tidak bisa, karena ia ditempatkan sebangku dengan Budi.
Dan seterusnya.
Tujuan dari
adanya outline ini untuk mengatur "flow" atau alur berpikir dari
pembaca. Kalau dalam nonfiksi, biasanya dari "tidak tahu" menjadi
"paham". Sementara dalam fiksi mah dari "prolog" sampai
dengan "klimaks" :)
Beberapa penulis
juga ada yang menyiapkan "matriks naskah". Ini semacam
"proposal" yang bisa menjadi bahan pertimbangan penerbit ketika
hendak menuliskan naskah kita. Kurang lebih formatnya seperti ini (di lampiran).
Sebetulnya matriks tidak merupakan kewajiban untuk dibuat. Namun kalau kalian
mau, hal ini bisa menjadi nilai tambah juga dari sisi penerbit :")
✅
Tahap Menulis
Kalau semua
persiapan sudah beres, silakan langsung tuliskan semua yang teman-teman
inginkan. Sebisa mungkin, jangan berhenti dan mengedit di tengah jalan.
Bereskan saja dulu apa adanya. Banyak tipo pun tidak masalah. Jangan khawatir,
karena nanti ada masanya kita menyunting naskah tersebut. Sebagaimana prinsip
menulis, "Tuliskan apa yang kamu pikirkan, baru pikirkan apa yang kamu
tuliskan.
✅
Tahap Pascamenulis
Setelah naskah
beres, baru kemudian kita masum ke tahap editing. Prinsip editing ini agak beda
dengan prinsip menulis. Kalau kata Aan Mansyur, "Menulislah seperti
Mahatma Gandhi dan Mengeditlah Seperti Adolf Hitler." Ketika proses
menulis, tulislah setulus mungkin. Apa yang pengin teman-teman tuangkan,
sampaikan saja apa adanya. Bisa dibilang, kita banyak menggunakan otak kanan
agar kreativitas kita tidak terbatas. Namun, ketika sudah sampai proses mengedit,
tulislah serapi mungkin. Efektifkan kalimatnya, perbaiki tiponya, dan baca
ulang naskahnya. Kalau ada yang jelek, jangan ragu untuk dihapus. Kalau ada
yang enggak nyambung, jangan takut untuk merevisi.Makanya di sini kita harus
kejam kayak Hitler. Kalau memang ada bagian yang harus dibuang, ya pangkas
saja. Jangan sayang sama naskah sendiri. Sayangilah pembaca dan berikan bentuk
terbaik dari naskah kita kepada mereka :")
Kalau misalkan
naskah kita udah selesai, tinggal dirapikan dan siapkan untuk terbit. Teman-teman
bisa pertimbangkan naskah ini cocok ke penerbit mana, apakah mayor atau indie. Siapkan
persyaratannya dan tunggu hasilnya. Kalau kita udah berusaha semaksimal
mungkin, mudah-mudahan nanti balasannya pun setimpal. Karena konon katanya, hasil
tidak akan mengkhianati proses 😄
Fyi, buat yang
belum tahu. Penerbit mayor itu adalah penerbit besar seperti Gramedia, Mizan,
Republika, dan sebagainya. Sementara Penerbit Indie itu adalah penerbit kecil,
kayak AE Publishing, Jejak Publisher (tapi kayaknya enggak berafiliasi dengan
Jejak Inspirasi ini ✌️),
dan sebagainya :) Perbedaannya lumayan signifikan. Kurang lebih seperti ini.
✅
Penerbit Mayor
- Semua biaya penerbitan ditanggung
- Harus melewati proses kurasi,
rata-rata selama tiga bulan
- Hasil cetak didistribusikan ke
seluruh toko buku
- Harga jual ditentukan penerbit.
Penulis mendapat royalti secara berkala / sistem bagi hasil "jual
putus"
(Catatan: royalti penulis biasanya
10% dari harga buku, dikali jumlah buku yang terjual, dan dipotong pajak.
Dibayar setiap enam bulan sekali. Kalau jual putus, cuma dibayar satu kali di
depan. Misalnya 2,5 juta, ya udah segitu penghasilan kita dari satu buku)
✅
Penerbit Indie
- Biaya penerbitan dan cetak buku
ditanggung penulis
- Tidak melalui proses kurasi yang
ketat. Umumnya semua orang bisa menerbitkan di mereka
- Sistem penjualan dikembalikan ke
penulis. Umumnya lewat media sosial dan secara daring saja
- Harga jual ditentukan penulis.
Keuntungan royalti bisa 2x lipat dari harga buku.
Jadi, masing-masing punya plus
minusnya sendiri. Silakan disesuaikan aja teman-teman cocok ke mana, ya. 😁
#TANYA JAWAB
1.
Silfia Damayanti_Bekasi/UPI_Jika
kita sudah miliki bahan yang ingin dijadikan sebuah buku, tetapi kita tidak
pandai untuk merangkai kata-kata dan takut untuk salah/ menyinggung sebaik nya
bagaimana ya?
Jawaban:
Pertama, pada dasarnya menulis nanti memang akan bergantung pada jam terbang. Ada
beberapa cara yang bisa kita lakukan kalau misalkan ragu terhadap tulisan kita.
1)
Coba cari teman / kenalan Teteh untuk dijadikan pembaca pertama naskah ini.
Minta pendapat mereka, apakah bahasanya sudah cocok, penyampaiannya sudah enak,
dan sebagainya. Revisi seperlunya dan jadikan komentar tersebut sebagai salah
satu referensinya :)
2)
Coba cari mentor. Untuk beberapa hal secara teknis, umumnya mereka yang sudah
lebih dulu terjun ke dunia kepenulisan bisa lebih jeli membaca naskah kita,
mencari potensinya, sekaligus menemukan kekurangannya.
Sebetulnya,
ketika naskah kita dikirimkan ke penerbit pun, umumnya editor juga akan memberi
catatan atau memperbaiki kalimat dalam naskah Teteh apabila ada yang dirasa
kurang baik, menyinggung, dan sebagainya. Jadi, jangan takut, ya. Karena
lapisan penerbit pun cukup banyak kalau kita mau memanfaatkan fasilitas yang
mereka berikan :")
Sebagai
tambahan, coba perbanyak bacaan dan banyak-banyak juga menulis di media sosial,
seperti Facebook, Instagram, dan lainnya. Selain sebagai ajang latihan, media
tersebut juga bisa menjadi sarana kita mengecek bagaimana respons pembaca. Apakah
sudah cukup baik, apakah menimbulkan ambiguitas, atau biasa aja? Kurang lebih
Teteh bisa coba melihatnya dari sana. Hehe
2.
Derizkybelinda_kabupatenBandung_Assalamualaikum
ka saya ingin bertanya jika kita sudah mempunyai tulisan atau mungkin blog nah
kita kesulitan infomasi untuk mempublikasikan blog kita harus bagaimana?
Sedangkan tadi kata Kka hobby kita harus bisa menghasilkan, nah saya
kebingungan soal harus daftar ke mana atau harus bagaimana? Terimakasih
wassalamualaikum
Jawaban:
Waalaikumussalam w.w. Halo, Kak Derizky. Pertanyaannya ini berarti seputar
mempromosikan tulisan, khususnya dari blog, ya?
Pertama, sebetulnya tanpa kita
publikasikan, blog sendiri memiliki kemampuan untuk "mencari
pembacanya". Nama teknik tersebut adalah "SEO" alias
"Search Engine Optimization". Singkatnya, teknik ini berkaitan dengan
bagaimana caranya supaya tulisan kita bisa tampil di halaman pertama google.
Kalau orang mencari kata kunci tertentu dan yang muncul tulisan kita, tentu
saja orang-orang jadi lebih mudah menemukan blog kita dan memperbesar
kemungkinan kita terpublikasikan ke banyak orang, kan? :") Lebih lanjut
soal SEO, bisa coba dibaca juga dalam tulisan ini. https://www.senjaandbooks.com/2020/03/menulis-artikel-seo.html?m=0
Di luar itu, ada banyak hal lain yang
bisa kita coba lakukan juga.
1)
Coba fokus terhadap tema yang kita angkat dalam blog kita. Apakah mau menjadi
travelblogger, foodblogger, bookblogger, dan sebagainya. Semakin spesifik
konten kita, maka kemungkinan kedatangan pembaca yang tertarik dengan blog kita
akan lebih besar :)
2)
Gabung komunitas blogger. Tujuannya memperluas jejaring dan belajar bagaimana
blogger lain mengoptimalkan konten dan blog mereka.
3)
Lakukan blogwalking. Disadari atau tidak, jalan-jalan ke blog orang lain dan
meninggalkan jejak berupa komentar di sana akan menimbulkan feedback pada blog
kita sendiri, lho. Tapi komentarnya juga jangan alay, ya 😂
Tulis aja sesuai konten postingan blog yang dikunjungi. Pasti pemilik blog akan
senang dan mengunjungi balik blog kita ;)
4)
Promosikan secara konsisten di media sosial. Bisa lewat postingan di feed
Instagram atau dinding Facebook, lewat IG Story dan sematkan tautan tulisan
terbaru di blog kita pada bio instagram, dan sebagainya.
Jadi, untuk kasus publikasi, kurang
lebih begitu gambaran umum yang bisa kita lakukan. Usahakan konsisten menulis
blognya, minimal seminggu sekali. Lebih bagus lagi kalau terjadwal, setiap hari
Kamis, misalnya. Dengan begitu, pembaca juga akan menantikan tulisan terbaru
kita dan mengecek di waktu yang kita janjikan tersebut :") Dan kalau
misalkan blog kita sudah cukup memuaskan, barang kali mau coba dimonetisasi,
itu hal lain lagi, sih, ya. Nanti coba pelajari lebih dalam lagi aja. Karena
seperti YouTube, ada banyak peluang juga yang bisa kita dapatkan dari hasil
menulis blog.
Salah satu guru menulis saya juga bisa
jalan-jalan ke luar negeri, dapat smartphone keluaran terbaru, berbagai produk
gratis, hingga uang cash, hanya karena modal sebagai blogger, kok ^^v Kuncinya
dua: konsistensi dan persistensi. Jadi, silakan kejar itu dulu aja, ya :) Hehe
3.
Ardi_bandung_Jika
kita mau membuat tulisan inspirasi gitu, gimana cara membuat outlinenya agar
pas? soalnya bingung juga untuk nentuin posisi subab. terus jika penulisan buku
non fiksi jika ada kalimat yang mirip dengan tulisan orang lain apakah bisa
kena plagiat?? sedang kita misal tidak tahu kalo ada tulisan serupa.. terus
kalo untuk percetakan indie itu kaya gimana teknisnya? dan ada rekomendasi nama
percetakannya? Kemudian, ada hak cipta kita tidak jika menerbitkan indie? dan
jika dijual secara e book itu juga melalui proses penerbitan? atau cukup kita
jual tanpa ada identitas penerbit?"
Jawaban:
Aku coba jawab satu persatu, ya ;)
Pertama,
tulisan inspirasi ini bentuknya mau gimana, ya? Semacam tulisan ringan,
renungan, proses, senandika, atau gimana? Aku mengacu ke buku Kurniawan Gunadi
yang berjudul "Hujan Matahari". Kalau mau, kita coba jahit tulisan
tersebut dalam beberapa tema tertentu. Kalau Mas Gun kan karena temanya tentang
"Hujan" jadi dia ngebagi babnya kayak "Gerimis",
"Hujan", dan "Reda". Tulisan di Gerimis itu kayak pemikiran
dan kegelisahan beliau, tapi cuma selewat gitu. Tema-temanya masih ringan dan
mudah dicerna. Ketika masuk bab Hujan, bahasannya mulai berat dan bisa membuat
kita mengernyitkan dahi. Beda lagi dengan bab Reda, yakni semacam refleksi,
renungan, dan kesimpulan dari semua bahasan di buku itu. Jadi, kalau mau dibagi
tema, kita bisa buat kayak gitu :)
Ada
juga tulisan Azhar Nurun Ala dalam buku "Ja(t)uh" yang kalau gak
salah beliau urutkan cuma dari masa publikasi karya tanpa dibagi ke bab
tertentu. Supaya pembaca mungkin ikut menyadari bagaimana tulisan beliau tumbuh
dari awal pertama menulis sampai dengan buku tersebut diterbitkan. Akh pribadi,
sih, lebih menyarankan coba buat kayak Mas Gun aja. Kumpulin tulisannya dulu,
cari beberapa tema besarnya, lalu dibagi ke dalam beberapa bab.Bisa disesuaikan
dengan tema besar utamanya, jadi nama babnya pun bisa dibuat lebih unik ^^v
Hehe
Jadi,
kurang lebih outline-nya cukup tema besar babnya apa, abis itu sub-sub tema
atau topik yang mau dibahas dalam bab tersebut gimana? Misalnya, bab utamanya
cinta. Subbab-nya kayak ta'aruf, ketika teringat mantan, saatnya move on,
berani memperjuangkan, persiapan menghalalkan si doi, dan seterusnya. Tema
subbab dan judulnya enggak mesti sama, ya. Misalnya, temanya persiapan
menghalalkan. Judul babnya "Ketika Aku dan Kamu Menjadi Kita". Bisa
dibuat semacam gitu, ya ^^v Kurang lebih begitu untuk jawaban pertama.
Kita
lanjut ke pertanyaan selanjutnya. Bagaimana kalau ada kalimat yang mirip dengan
tulisan orang lain? Pada dasarnya, meskipun esensi kalimatnya sama, tapi kalau
redaksinya berbeda itu enggak bisa disebut plagiat, kok. Karena gak ada yang
orisinil di bawah matahari, jadi menurutku cukup yakin aja dan dirimu tulis
setulus dan sebaik mungkin aja. Ada satu kasus di mana Tasaro GK nulis cerpen
judulnya "Dikatakan atau Tidak, Tetap Saja Kusebut Dia Cinta". Berapa
tahun kemudian, Tere Liye bikin buku puisi judulnya "Dikatakan atau Tidak
Dikatakan, Itu Tetap Cinta". Lantas, apakah Tere Liye plagiat tulisan
Tasaro GK? Setelah dikonfirmasi, ternyata emang enggak ada hubungan, kok. Meskipun
mirip, tapi Bang Tere mengaku belum pernah membaca karya Tasaro GK. Jadi,
kalaupun kasusnya nanti bakal menimpa kita, jujur aja apa adanya. Ada tujuh
milyar manusia di dunia ini, dan ide yang datang ke kepala kita tentu saja bisa
bersamaan dengan ide yang datang ke kepala orang lain. Makanya, supaya enggak
menyesal, cepat-cepat publikasi dan bukukan karyamu terlebih dahulu. Biar kita
punya bukti otentik yang tidak bisa dibantah orang kalau tulisan kita plagiat
tulisan dia ✌️🤭
Lanjut
ke masalah percetakan indie. Pertama-tama, tolong bedakan dulu antara
penerbitan dan percetakan. Ada penerbit yang punya percetakan kayak Gramedia
dan Mizan, tapi ada juga penerbit yang pure menerbitkan buku aja. Jadi, untuk
percetakan mereka kerja sama dengan pihak lain lain. Untuk indie sendiri, yang
aku tahu punya percetakan sendiri cuma AE Publishing. Yang lain rata-rata punya
langganan, sih. Dan beda-beda, ada yang di Jakarta, Malang, Jogja, dan
sebagainya. Untuk teknis sendiri, umumnya percetakan indie itu punya syarat
minimal cetak. Ada yang bisa cetak satuan, ada juga yang minimal kudu 4. Bisa
cek di @ae.press atau @penerbit_padoha. Yang satu di Jawa Timur, yang lain di
Jakarta. Bandung sendiri konon punya beberapa percetakan bagus kayak di
Pagarsih, daerah Cibiru, sama deket Palasari. Coba aja nanti kepoin satu-satu,
ya. Tapi sementara ini kalau aku masih ke Padoha karena yang bantu ngurusnya
temenku sendiri. Hehe Intinya, sih, nanti coba kepoin satu-satu dan bandingin
aja antara harga dan hitungan ongkir, ya. Kualitas mah 11-12, sih, buat
penerbit indie. Jadi, bersaingnya biasanya di harga kertas dan harga cetak :)
Lanjut
seputar hak cipta. Selalu ingat ketika hendak menerbitkan sesuatu, perhatikan
lagi kontraknya, ya. Karena tiap kasus bisa beda-beda. Ada penerbit indie yang
cuma ngambil hak cipta untuk cetaknya aja, tapi versi digitalnya enggak. Ada
yang ngambil semuanya, termasuk hak adaptasi ke visual, dan sebagainya.
Termasuk juga masalah durasi. Ada yang hak ciptanya cuma satu tahun, ada yang
lima tahun, bahkan ada yang seumur hidup 🙈 Makanya, hati-hati
untuk urusan ini, ya. Bisi ada pasal yang merugikan kita.
Jadi,
terkait penebitan ebook, malah kita menerbitkan secara indie, nanti bisa
dilihat lagi gimana kebijakan mereka, ya. Kalau mereka udah nge-cover buat ebook,
berarti kita gak perlu repot-repot ngurusin lagi. Tapi kalau enggak, berarti ya
balik lagi ke kita aja. Apakah mau coba ngedaftarin sendiri ke google playbook?
Atau kerja sama dengan layanan lain kayak bookslife.co dan sebagainya? Kalau
Indie-nya cuma cetak aja, berarti kita boleh pasang identitas penerbit lain
untuk versi digitalnya. Kurang lebih begitu, ya :)
4.
Silfia Damayanti_Bekasi/UPI_Jika
kita sudah menyelesaikan semua prosesnya, apakah ada saran penerbitan misalnya
tema penulisan kita tentang “pendidikan” nah apakah ada penerbit khusus atau
penerbit yg mayoritasnya menerbitkan tema tersebut, atau kita bebas memilih
karya kita di terbitkan dimana saja?
Jawaban:
Pertama, tema pendidikan pun masih agak luas, ya.
Apakah ini bentuknya nonfiksi akademik, nonfiksi populer, atau novel? 😂 Kalau
untuk akademik, penerbit seperti Rosda Karya, Grafindo, Refika Aditama, Tiga
Serangkai, dan sebagainya mungkin bisa jadi pilihan. Tapi kalau populer, bisa
aja kayak ke Elexmedia, Grasindo, dan lainnya. Kalau misal ada pendekatan
islami, bisa coba ke Mizania, Pro-U Media, Gema Insani Press, Qultum media,
Tinta Medina, dan seterusnya. Sementara kalau novel, balik lagi gimana
pengemasan. Toh buku Andrea Hirata yang judulnya "Guru Aini" juga
temanya pendidikan, kan? 😁😆 Intinya, kalau
kita mau mengincar penerbit tertentu sebagai calon "Ayah" dari naskah
kita, coba cek dulu aja beberapa terbitan mereka.
Lalu,
kita cek naskah kita. Apakah cocok dan setema dengan terbitan mereka? Kalau
misalkan iya, silakan coba dikirim. Namun kalau enggak, berarti coba cari
penerbit lain yang sekiranya cocok :) Banyak penulis besar awalnya pun naskah
mereka banyak ditolak karena penerbitnya yang gak cocok dengan tema yang mereka
angkat. Akan tetapi, sekalinya ketemu, langsung meledak di pasaran naskah
tersebut. Kayak J.K. Rowling, Stephen King, dan lainnya yang awalnya ditolak
puluhan kali sebelum naskah pertamanya terbit. Jadi, kita bebas memilih karya
kita diterbitkan di mana aja, tapi sesuaikan juga dengan "ideologi"
dan "warna" yang dibawa oleh masing-masing penerbit. Itu untuk kasus
mayor, ya. Kalau indie mah yang penting kita punya modal aja. Selebihnya
tinggal pilih mau diterbitkan di mana. Huehehe Kurang lebih begitu, ya, Teh ;)
5. Rosi_Kebumen_UPI_
Saya ingin bertanya menerbitkan buku di penerbit mayor. Salah satu syarat
penerbitan itu kita mengisi form yg mendiskripsikan buku kita. Di dalamnya
diminta menyebutkan buku2 yang merupakan "saingan kita" dan
menyebutkan perbedaannya dengan buku kita. Bagaimana tips dalam menyebutkan
"perbedaan" tersebut agar menarik penerbit? Lalu, bagaimana tips agar
penulis pemula bisa lolos ke penerbit mayor?
Jawaban:
Untuk mencuri perhatian penerbit, sebagaimana saran
dari Tere Liye, "Temukan sudut pandang yang unik dari ceritamu." Artinya,
kalau misalkan begini. Kita mau buat cerita tentang korupsi. Orang lain mungkin
menceritakan dari sudut pandang pelaku. Ada yang membuat dari sudut pandang
polisi. Gimana kalau kita buat dari sudut pandang pulpen? Jadi, bayangkan
pulpen tersebut bisa berbicara, menjadi saksi bisu si pelaku ini menandatangani
perjanjian tertentu, dan seterusnya. Pasti bakal unik dan menarik tuh :")
Termasuk
juga di dalam bentuk naskah nonfiksi. Coba cari kelebihan lain yang sekiranya
bisa kita usahakan. Misalkan, adanya "lembar aktivitas" agar pembaca
bisa menulis intisari beberapa bab secara langsung. Adanya ilustrasi, bahasa
yang ringan, mudah dicerna, aplikatif, teorinya pernah diujikan dalam komunitas
tertentu, dan seterusnya. Intinya adalah, perbedaan yang dimaksud di sana
berarti "Seberapa menjual / potensial naskah kita dibanding karya lain?
Sudut pandang atau kebaruan apa yang juga kita tawarkan dalam naskah ini?"
Nanti coba dilihat lagi aja, ya, matriks naskah yang saya share di atas. Siapa
tahu ada beberapa poin yang bisa coba diambil juga :)
Terkait
tips supaya lolos ke mayor, intinya adalah cari sebanyak mungkin potensi dari
naskah kita (bisa dilihat terutama dari tiga poin krusial yang tadi disampaikan
di pengantar), siapkan naskah serapi mungkin (minimalisir tipo dan kesalahan
pengetikan, tulis naskah sesuai kaidah PUEBI), lalu sapalah para redaksi dengan
sopan di badan email. Selebihnya, sih, bisa lengkapi naskah dengan outline dan
matriks naskah, lalu sajikan dalam bentuk yang menurut kita sesempurna mungkin.
Untuk
memperbesar peluang, lihat tema-tema yang lagi dicari penerbit, sesuatu yang
belum pernah digarap oleh orang lain, terutama yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Perbanyak portofolio kita, termasuk juga aktivitas di media sosial kita. Umumnya,
penerbit masa kini sangat suka dengan penulis yang aktif. Jadi, kalau media
sosial kita seperti Instagram aktif dan rapi, lalu kita juga bergiat di
komunitas tertentu (apalagi sesuai dengan tema naskah yang diangkat), biasanya
jadi nilai plus, sih :) Kurang lebih begitu, ya, gambarannya, Teh. Kalaupun
naskahnya fiksi, boleh coba di-posting juga di platform nulis kayak wattpad
atau storial. Biasanya banyak editor yang jalan-jalan dan mencari naskah
potensial di platform begini. Jadi selain sambil mencari pembaca, mempostingnya
juga bisa menambah peluang kita untuk ditemukan oleh penerbit :)
Lampiran:
Contoh matrik buku
|
SPESIFIKASI
|
|
|
JUDUL
BUKU
|
Yuk Jadi Mahasiswa Kura-Kura
(Kuliah Rapat-Kuliah Rapat).
“Tips Jitu Menjadi Mahasiswa Sukses Organisasi dan Akademik.” |
|
PENULIS
|
M. Ginanjar Eka Arli
|
|
KELOMPOK
|
-
|
|
JENIS
BUKU
|
Non Fiksi (How To). Bacaan remaja
akhir - dewasa awal.
|
|
TARGET
PEMBACA
|
USIA:
18-25 tahun.
|
|
|
PENDIDIKAN:
Diploma atau Strata (S-1)
|
|
|
WILAYAH:
Kampus (khususnya Bandung dan sekitarnya)
|
|
|
PROFESI:
Mahasiswa
|
|
|
|
|
FISIK
BUKU
|
HALAMAN
NASKAH: 100 halaman
|
|
|
UKURAN
BUKU: 14 x 21
|
|
|
COVER:
Soft Cover
|
|
|
PERKIRAAN
HALAMAN BUKU: 200 halaman
|
|
|
PERKIRAAN
HARGA JUAL: Rp. 50.000,-
|
|
|
|
|
LATAR
BELAKANG
|
|
|
KONSEP
|
Mengajak calon mahasiswa,
mahasiswa baru, maupun mahasiswa lama untuk aktif dan kreatif dalam
berorganisasi. Organisasi bukan halangan untuk meraih akademik tinggi,
begitupun sebaliknya. Akademik juga tidak berarti menghambat kegiatan
organisasi, tapi keduanya harus seiring sejalan. Dalam buku ini akan
dijelaskan konsep dan tips-trik bagaimana menjadi mahasiswa yang sukses
organisasi dan akademik. Disadur dari pengalaman penulis dan berbagai
narasumber yang notabene aktivis sukses akademik.
|
|
DESAIN
|
Soft layout untuk halamannya
serta dilengkapi dengan mindmap, tabel, contoh-contoh yang berkaitan dan
berbagai ilustrasi lainnya yang menarik perhatian pembaca dan memperkaya
warna dari buku tersebut.
|
|
TEMA
|
Mahasiswa sukses organisasi dan
akademik.
|
|
MANFAAT
BAGI PEMBACA DAN KELEBIHAN
|
ü
Mendapat
pengetahuan dasar tentang sistem perkuliahan dan hal-hal yang harus
dipersiapkan sebelum menjalaninya.
ü
Mengetahui
hakikat dan urgensi mengikuti organisasi.
ü
Mendapatkan
tips dan trik agar dapat sukses organisasi dan akademik.
ü
Link beasiswa ke beberapa situs terkemuka.
ü
Bonus
e-book bermanfaat bagi pembeli buku
tersebut.
ü
Jaringan
aktivis kampus yang akan dibuat pada grup facebook.
|
|
FAKTOR
LAIN
|
Hal yang dapat membatalkan keputusan
pembaca membeli buku ini.
ü Telah
memiliki buku sejenis.
ü Kemasan
yang kurang menarik, khususnya sampul.
ü Isi
tidak menarik.
ü Pembaca
merasa tidak menemukan manfaat apa-apa.
ü Harga
tidak realistis.
ü Belum
tahu isinya.
ü Belum
kenal dengan penulisnya.
|
|
STRATEGI
PEMASARAN
|
Beberapa strategi pemasaran yang bisa
saya tempuh.
ü Sampul
yang eye catching (tidak harus
glamor tapi menarik).
ü Display
yang menarik di toko buku.
ü Memanfaatkan
jaringan kemahasiswaan di kampus.
ü Memanfaatkan
sosial media Facebook, Twitter, Blackberry Messenger, Broadcast Whats App,
Line Messenger, dan website
pribadi.
ü Membangun
sistem reseller/keagenan penjualan
buku.
ü Seminar
dan training.
ü Pesta
buku (sekaligus diadakan bedah bukunya).
ü Sedekah
buku (program give away).
|
|
Buku
Sejenis
|
|
|
JUDUL
DAN SPESIFIKASI
|
- Jangan
Kuliah! Kalau Gak Sukses (Setia Furqon Kholid)
- Setiap
Orang Berhak Sukses (Ronny Dewanyara Putra dan Rio Saputra)
|
|
NILAI
LEBIH
|
Buku-buku lain condong kepada
rahasia mahasiswa sukses dengan tips sukses akademisi dan bertahan dalam
rimba perkuliahan dengan berwirausaha. Namun pendekatan yang saya lakukan
dalam buku ini yaitu fokus melalui kegiatan organisasinya. Agar para pembaca
tertarik mengikuti kegiatan organisasi dan aktif di dalamnya.
|
Komentar
Posting Komentar